Tuesday 29 November 2011

Pentingnya Edukasi HIV/AIDS di Masyarakat


AIDS bisa di bilang adalah wabah penyakit yang paling mematikan di dunia, penyebarannya mungkin tak secepat virus flu burung (H5N1), tapi penyakit ini telah menyebabkan kematian pada lebih dari 25 juta orang, dan lebih dari setengah juta korban dari penyakit AIDS ini adalah anak-anak.

Berbagai penelitian kedokteran, tak membuahkan hasil untuk menciptakan obat penawar AIDS ini. Demikian juga dengan  berbagai terapi-terapi, perawatan, akupunktur, pengobatan-pengobatan alternatif yang ada, tidak mempan untuk menyembuhkan penyakit ini. Intinya sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV/AIDS ini di dunia. Metode satu-satunya yang memungkinkan, yaitu adalah pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika tidak berhasil, dengan perawatan antiretroviral secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, dinamakan post-exposure prophylaxis (PEP). PEP ini memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. Dan juga memiliki banyak efek samping yang tidak menyenangkan, seperti diare mual-mual, muntah-muntah, badan terasa sakit dan sangat tidak enak, dan lain-lain. Seperti yang dilakukan  untuk penanganan HIV terkini dengan terapi antiretroviral yang sangat aktif, atau Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4 (sebuah penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit), serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah pada pasien), tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. Virus HIV dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan, lagipula waktu yang dibutuhkan lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV.
Seperti pada eksperimental medis atau kejadian 1:10000 yang cukup mengejutkan di Berlin, Jerman. Ada seorang Pasien Leukimia, yang bernama Timothy Ray Brown, yang lebih dikenal dengan nama "pasien berlin", terinfeksi HIV selama lebih dari satu dekade di berikan transplatasi sumsum tulang (transplantasi sel induk hematopoietik). Dan hampir selama dua tahun setelah transplatasi, dan bahkan setelah si pasien di laporkan berhenti memakai obat-obatan antiretrivoral, HIV ditubuhnya benar-benar hilang dan tidak terdeteksi lagi di tubuhnya. Dan setelah tiga tahun, si pasien ini masih bebas dari HIV di darahnya, dan diyakini sudah sembuh dari HIV. Tapi tentu saja tidak semua pasien HIV sembuh dengan cara ini, dan pada kenyataanya juga transplatasi ataupun terapi antiretroviral seperti itu sangat mahal, dan mayoritas orang yang terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia ataupun di beberapa belahan lain di dunia tidak memiliki akses terhadap pengobatan, perawatan, ataupun terapi antiretroviral untuk HIV/AIDS seperti "pasien berlin" tersebut.

Berdasarkan data dari sebuah local online newspapers, penderita HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia  mencapai 200.000 orang, dan itu bukan jumlah yang sedikit. Oleh karena itulah dengan belum diketemukannya obat penawar AIDS dan semakin meningkat dan bertambahanya penderita HIV/AIDS oleh karena itulah tindakan yang terbaik adalah pencegahan. Menurut saya yang terpenting adalah edukasi, tentunya edukasi yang menyeluruh ke dalam elemen masyarakat, baik itu kaum tua maupun kaum muda, baik itu kaum profesional, ataupun yang menyebut dirinya kaum hedonis. Tentunya edukasi ini di tujukan terutama untuk generasi muda, karena generasi muda ini Indonesia sekarang ini sudah hampir sangat bebas dalam urusan seks. Oleh karena itu tugas dari orangtua, guru, elemen masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah untuk membekali edukasi yang cukup terhadap generasi muda bangsa akan HIV/AIDS. Pendidikan seks sejak dini, pembekalan agama yang cukup, dan pengenalan kondom sejak awal, akan menjadi langkah yang baik untuk menghindarkan penularan HIV/AIDS. Selain itu langkah edukasi ini juga harus di tunjang dengan adanya distribusi yang matang dari penyebaran kondom itu sendiri, bukan hanya di kota-kota, tetapi menyeluruh sampai desa-desa terpencil di Papua sana, selain itu juga di imbangi dengan harga kondom yang terjangkau oleh segala lapisan masyarakat, tanpa mengurangi kualitas dari kondom tersebut. Adanya mesin ATM kondom, kondom yang mudah di dapat, dan harga yang murah untuk kondom, bukan berarti pemerintah mendorong adanya seks bebas, dan menganjurkan masyarakat untuk seks di mana terdapat mesin ATM kondom tersebut berada, tentunya hal ini harus di tanggapi dengan bijak, kita harus yakin, dengan bekal agama yang cukup, adat-istiadat yang ada, pendidikan yang telah dipenuhi, dan tentunya sebagai manusia yang berakal dan berbudi-luhur, tentunya tidak akan mengartikan keberadaan ATM kondom sebagai Tempat Bebas Seks.
Selain Seks bebas, tentunya harus di galakkan pelarangan obat-obatan terlarang, terutama yang menggunakan alat suntik. Intinya segala macam obat-obatan terlarang yang beredar harus di perketat, bandar-bandar & penjual narkoba ruang geraknya harus di batasi, dan pada akhirnya pemerintah, harus tegas membasmi narkotika di bumi Indonesia, sehingga generasi muda bangsa ini tidak di bangun oleh balok-balok ganja dan butiran shabu-shabu. Melainkan di bangun oleh balok-balok agama dan pendidikan dan butiran-butiran etika dan kebanggan sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang bersih dari Narkoba.

Sedangkan untuk para ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) sendiri, jangan kucilkan mereka. Karena mereka pun masih manusia, mereka tak bermutasi menjadi mutan, monster ataupun siluman, karena status ODHA mereka. Jadi mereka masih merupakan bagian dari kita. Bukan hanya sebagai bagian dari masyarakat, tetapi juga sebagai bagian dari Bangsa Indonesia.
Edukasi perawatan untuk ODHA, bagaimana merawat ODHA di rumah, bagaimana hidup berdampingan dengan ODHA, penerimaan ODHA tanpa diskriminasi dan ketakutan, harus di kenalkan di lapisan elemen masyarakat, untuk memberitahukan dan menyampaikan bahwa itu tidak se-mengerikan apa yang ada di pikiran mereka, itu tidak seseram Sadako, di dalam film The Ring, yang sampai merangkak-rangkak dari dalam sumur. Mereka juga tidak sampai menjijikan, seperti alien yang berlendir-lendir, ataupun raksasa ogre yang bermata satu. Dan aktivitas para ODHA ini juga masih kasat mata, tidak seperti poltergeist yang kita lihat di film paranormal activity. Terkadang ketakutan itu hanya ada di pikiran masyarakat, yang membuat mereka takut akan keberadaan ODHA. Oleh karena itu pengenalan dan edukasi akan hidup berdampingan bersama ODHA harus di galakkan dan di sosialisasikan.

Tentunya selain itu di butuhkan banyak sukarelawan-sukarelawan untuk memberikan bantuan kepada ODHA. Baik sebagai petugas-petugas kesehatan, pelatih ataupun edukator, investor ataupun donatur, organisasi-organisasi ataupun yayasan-yayasan, konselor ataupun motivator, maupun berupa komunitas-komunitas ataupun kelompok-kelompok kecil, yang secara bersama-sama bersatu memberikan ruang, waktu, dan hati untuk para ODHA, untuk menjalani hidup, bukan hanya menjalani hidup di tengah keluarga, dan di dalam masyarakat, tapi juga disini, di Bumi ini.


Bukti Follow Twitter:

Bukti Twitter: Link Vivanews Vlog